Cerpen ini merupakan karya A.
A. Navis yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1956. Cerpen ini dipandang
sebagai alah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Kisah ini
menceritakan tentang seorang kakek penjaga surau yang meninggal dengan tragis
karena terbual oleh omongan orang lain, namun bualan tersebut masih belum diketahui kebenarannya, makin penasaran ya? Langsung dibaca
deh, cekidot!
ROBOHNYA SURAU KAMI
Karya Ali Akbar Navis
Kalau beberapa tahun
yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran
kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah
pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta
tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah
tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan
segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering
suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang
sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang
bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat
anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan
yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku
datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke
depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang
mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan
aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut.
Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku
ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk
diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di
sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti
katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat
lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang
mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
“Apa ceritanya,
Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,”
Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau
cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau
aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak
marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenan ya, ibadatku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada
Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi
orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan
cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek,
“Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam
saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang
bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau
kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan
semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu
menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia
takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di
sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang
lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin
rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala.
Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.
Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau
itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku
mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada
dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi.
Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya
bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca
Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku
menerima karunia-Nya. ‘Astagfirullah’ kataku bila aku
terkejut. ‘MasyaAllah’ kataku bila aku
kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam
agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan
aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata
Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi
yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir
bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu,
‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala
manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.
Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam
surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan
menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka,
bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk
ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habis habisnya orang yang
berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga
ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi
karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tan ya nama.
Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di
dunia?’
‘Aku men yembah
Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap
malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak
ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat
menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala
yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya
saja, tentu ada lagi yang belum di
katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak
tahu lagi apa yang harus dikatakannya.
Ia termenung dan
menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya
Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu
ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil
dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri
dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut erhadapnya
dan tidak salah tanya kepadan ya.
Tapi Tuhan bertanya
lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu
Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan
semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur
karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada
lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah
semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan
sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di
bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia
percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang
Haji Saleh, karena di nera a itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang
hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia
sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah
dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan
kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga
heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak
adil.’
‘Memang tidak adil,’
kata orang-orang itu mengulangi ucapan
Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita
harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus
mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar.
Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau
mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita
resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita
revolusikan juga?’ tanya suara yang lain,
yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung
kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di
dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara
menyela.
‘Setuju. Setuju.
Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka
berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya,
‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang
menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang
Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu,
memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan
keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak
sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah
kami Engkau p anggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum
terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia
tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah
umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang
tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu,
Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan
berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar.
Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena
fajar kegembiraan telah membayang di wajahn ya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana
tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar.
Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana
penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah
dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama
diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku.
Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu,
mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku.
Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang
selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku.
Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau. ’
‘Engkau rela tetap
melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela
sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu
itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu
juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa
engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta
bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku
menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka
pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai,
Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat
pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di
dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di
dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia
bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut
pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan
engkau, karena engkau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita
Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya,
ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang
meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh
Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan
yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi
punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke
rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,”
jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek
meninggal?”
“Sudah. Dan ia
meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,”
tanyaku kehilangan akal sungguh
mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit
pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku
mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi
kerja.”
- End -
Banyak hikmah yang dapat diambil dari cerita tersebut salah satunya kita
sebagai manusia jangan mudah percaya oleh bualan/omongan orang, kita selidiki
terlebih dahulu kebenarannya, kemudian baru kita mempercayainya. Dan juga kita sebagai manusia jangan terlalu egois yang tidak memikirkan orang disekitarnya, karena Tuhan tidak suka orang yang egoistis. Dan kita sebagai manusia juga harus banyak bekerja keras didunia ini jangan hanya berpasrah diri kepada Tuhan dan hanya berharap belas kasih orang lain.